Stay in touch
Subscribe to our RSS!
Oh c'mon
Bookmark us!
Have a question?
Get an answer!

Islam dan Agama

0 komentar
II. PEMBAHASAN


A. Islam
Islam merupakan agama universal, ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan umat manusia yang berlaku di setiap tempat dan masa. Islam merupakan agama yang memiliki keseimbangan orientasi hidup, yaitu kehidupan dunia dan akhirat. Penamaan Islam sebagai agama, langsung diberikan oleh Allah melalui wahyu- Nya (Al-Quran). Sementara itu, pemberian nama agama lain yang berkembang di dunia senantiasa diidentifikasikan kepada orang atau tokoh yang membawa ajaran tersebut, atau daerah tempat agama itu lahir.


1. Pengertian Islam
Islam secara etimologi (bahasa) as la ma – yus li mu – is la man berarti tunduk, patuh, atau berserah diri. Adapun menurut syari’at (terminologi), apabila dimutlakkan berada pada dua pengertian:
1.1 Apabila disebutkan sendiri tanpa diiringi dengan kata iman
Islam mencakup seluruh ajaran agama, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), juga seluruh masalah ‘aqidah, ibadah, keyakinan, perkataan dan perbuatan. Jadi pengertian ini menunjukkan bahwa Islam adalah mengakui dengan lisan, meyakini dengan hati dan berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla atas semua yang telah di-tentukan dan ditakdirkan,
1.2 Apabila kata Islam disebutkan bersamaan dengan kata iman
Islam adalah perkataan dan amal-amal lahiriyah yang dengannya terjaga diri dan harta-nya, baik dia meyakini Islam atau tidak. Sedangkan kata iman berkaitan dengan amal hati


2. Sumber Ajaran Islam
Di kalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Alquran dan Al-Sunnah; sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk memahami Alquran dan Al-Sunnah .


2.1. Alquran
a. Secara Bahasa (Etimologi)
Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (قرأ) yang bermakna berarti: membaca, atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi).
b. Secara Syari’at (Terminologi)
Adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan perantara malaikat jibril, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas dan dinilai ibadah bagi yang membacanya.
2.2. Al-Sunnah
Menurut bahasa Al-Sunnah artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk. Sementara itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis mengartikan Al-Sunnah, Al-Hadis, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan

3. Metode Memahami Islam
Metode berasal dari Bahasa Yunani “Methodos’’ yang berarti cara, kiat, dan seluk beluk yang berkaitan dengan upaya menyelesaikan sesuatu. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Fungsi metode berarti sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Maka metode memahami Islam adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mengetahui dan memahami Islam untuk tujuan tertentu pada setiap metode yang digunakan. Di bawah ini ada beberapa metode memahami Islam menurut para Ahli, yaitu:
3.1 Menurut Ali Syari’ati (Ali Rahnema 2006):
Dalam buku yang berjudul Tentang Sosiologi Islam, karya Ali Syariati dijumpai uraian singkat tentang metode memahami yang pada intinya Islam harus di lihat dari berbagai dimensi. Dalam hubungan ini ia mengatakan jika kita meninjau Islam dari satu sudut pandangan saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja dari gejalanya yang bersegi banyak. Mungkin kita berhasil melihatnya secara tepat, namun tidak cukup apabila kita memahami secara keseluruhan. Maka dari itu, Ali Syari’ati membagi 2 metode cara memahami Islam, yaitu:
a. Metode Komparasi: yaitu membandingkan agama Islam dengan agama lain, antara ajaran dalam al-Qur’an dengan ajaran di kitab suci lain, antara kepribadian Rasul dengan tokoh besar yang lain. Tujuannya untuk menemukan perbedaan yang menjadi ciri khas ajaran Islam.
b. Pendekatan aliran, yaitu sesuai dengan bidang masing-masing. Islam mengandung berbagai aspek, sehingga dapat dipahami dari berbagai perspektif. Tujuannya agar Islam tidak hanya dipahami pada satu aliran saja.

3.2 Menurut Nasaruddin Razak (1976):
metode memahami Islam sama dengan Ali Syariati menawarkan metode pemahaman Islam secara menyeluruh. Memahami Islam secara menyeluruh adalah penting walaupun tidak secara detail. Begitulah cara paling minimal untuk memahami agama paling besar sekarang ini agar menjadi pemeluk agama yang mantap dan untuk menumbuhkan sikap yang hormat bagi pemeluk agama lainnya. Untuk memahami agama Islam secara benar Nasruddin Razak mengajukan empat cara :
a. Islam harus dipelajari dari sumber aslinya Al-Qur’an dan hadits. Kekeliruan memahami Islam, karena orang mengenalnya dari sebagian ulama dan pemeluknya yang telah jauh dari bimbingan Al-Qur’an dan Al-Sunah, atau melalui pengenalan dari sumber kitab-kitab fiqh dan tasawuf yang semangatnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Mempelajari Islam dengan cara demikian akan menjadikan orang tersebut sebagai pemeluk Islam yang sinkretisme, yakni bercampur dengan hal-hal yang tidak islami jauh dari ajaran islam yang murni. Tujuannya agar Al-Quran dan Hadis tetap menjadi sumber ajaran yang utama.
b. Islam harus dipelajari secara integral ( meliputi seluruh bagian yang lengkap; utuh; sempurna) yaitu melihat Islam sebagai satu kesatuan yang bulat, tidak parsial. ia dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang bulat tidak secara sebagian saja. Memahami Islam secara persial akan membahayakan, menimbulkan skeptis, bimbang dan penuh keraguan.
c. Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar dan sarjana-sarjana Islam, karena pada umumnya mereka memiliki pemahaman Islam yang baik yaitu pemahaman yang lahir dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah dengan pengalaman yang indah dari praktek ibadah yang dilakukan setiap hari. Islam harus dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh ulama-ulama besar Islam.
d. Islam harus dipelajari dari ketentuan normative teologisnya baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan histories empirisnya di masyarakat. Maksudnya adalah normative teologis adalah pengetahuan yang murni dari Allah (bersifat ketuhanan ) yang hasil pengkajiannya menghasilkan High Tradition atau Great Tradition yang mengutamakan keseragaman pemahaman. Ajaran ini disebut dengan ortodoksi. Ortodoksi adalah pemahaman terhadap ajaran Islam yang seharusnya (das solen) tanpa pengaruh pihak lain.
Hal yang murni dari Tuhan itu kemudian masuk dalam pengkajian histories yang menghasilkan Low Tradition atau Little Tradition yang menampakkan keragaman dalam praktek keberagamaan. Ajaran ini disebut dengan ortopraksi, yaitu melihat aplikasi ajaran Islam dalam realitas hidup masyarakat (das sains). Hal ini sudah terpengaruh oleh pihak lain seperti ulama.

3.3. Menurut Mukti Ali (1982):
Mukti Ali juga mengajukan pendapat tentang metode memahami Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Ali Syariati yang menekankan pentingnya melihat Islam secara menyeluruh. Dalam hubungan ini Mukti Ali mengatakan, apabila kita melihat Islam hanya dari satu segi saja, maka kita hanya akan melihat satu dimensi dari fenomena-fenomena yang multi faset (terdiri dari banyak segi), sekalipun kita melihatnya itu betul. Islam seharusnya dipahami secara bulat, yaitu pemahaman Islam dipahami secara komprehensif. Metode lain yang diajukan Mukti Ali adalah
a. Metode Sintesis, yaitu suatu cara memahami Islam yang memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional obyektif, kritis dan seterusnya dengan metode teologis normatif.
Metode ilmiah digunakan untuk memahami Islam yang terkandung dalam kitab suci. Melalui metode teologis normatif ini seseorang memulai dari meyakini Islam sebagai agama yang mutlak benar. Hal ini didasarkan pada alasan, karena agama bersal dari Tuhan, dan apa yang berasal dari Tuhan Mutlak benar, maka agamapun mutlak benar. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagai norma ajaran yang berkaitan dengan aspek kehidupan manusia yang secara keseluruhan diyakini amat ideal. Melalui metode teologi normatif yang tergolong tua usianya ini dapat dihasilkan keyakinan dan kecintaan yang kuat, kokoh dan militan pada Islam, sedangkan metode ilmiah yang dinilai sebagai tergolong muda usianya ini dapat dihasilkan kemampuan menerapkan Islam yang diyakini dan dicintainya itu dalam kenyataan hidup serta memberi jawaban terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi manusia
b. Metode Tipologi, (memahami Islam berdasarkan topic atau tema yang sejenis), yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama Islam tersebut dengan agama lainnya baik dalam aspek ketuhanan, aspek kenabian, aspek kitab suci dan aspek keadaan sewaktu munculnya nabi dan orang-orang yang didakwahinya serta individu-individu terpilih yang dihasilkan oleh agama itu.
Kesimpulan yang kami dapat sebagai pemakalah bahwa untuk lebih mengenal dan memahami Islam pertama-tama harus mengenal Allah swt terlebih dahulu. Ada berbagai cara untuk mengenal Allah swt misalnya dengan memperhatikan dan merenungkan kejadian alam, dengan metode filsafat, iluminasi dan ma’rifat.
Tahap kedua yaitu dengan mengenal dan mempelajari kitabnya, al-Quran. Kita pun harus mengerti buku macam apa al-Quran itu, masalah apa saja yang dibahasnya, dan bidang-bidang apa saja yang ditekankannya.
Tahap ketiga untuk memahami Islam ialah dengan mempelajari kepribadian Muhammad bin Abdullah. Mengenal dan memahami Rasul Islam penting sekali bagi sejarawan, karena tidak pernah dalam sejarah ada seorang yang berperan seperti beliau. Sungguh kepribadian Muhammad sangat sempurna dimana kita bisa mendapat pengetahuan dari pribadi Muhammad.
Tahap keempat ialah mempelajari keadaan sekitar awal kehadiran Rasul Islam. Apakah beliau, misalnya, tampil tanpa persiapan? Adakah orang yang mengharap-harap kedantangan beliau? Apakah beliau telah lebih dahulu mengetahui risalah beliau? Semua ini membantu kita untuk lebih mengenal Rasul Islam dan memahami keadaan yang dihayati beliau ketika beliau baru menerima risalah.
Tahap kelima untuk mengenal dan memahami Islam ialah dengan mempelajari contoh-contoh hasil terbaik yang telah disalalurkan oleh pabrik yang memproduksi manusia itu untuk kemanusiaan, masyarakat dan sejarah. Dengan mempelajari contoh yang menonjol dari masing-masing agama, misalnya, Harun untuk agama Musa, Santo Paulus untuk agama Isa, dan Ali, Husain atau Abu Dzarr untuk agama Islam, kiranya kita akan lebih mudah memahami agama-agama tersebut.
Dari sudut pandangan Islam, pemahaman yang benar dan jelas tentang tokoh-tokoh tersebut adalah bagaikan mengenal sebuah pabrik lewat barang-barang yang diproduksinya, karena agama memang merupakan pabrik yang berfungsi untuk memproduksi manusia.

4. Karakteristik Ajaran Islam
Sebagai muslim kita tentu ingin menjadi muslim yg sejati. Untuk itu seorang muslim harus menjalankan ajaran Islam secara kaffah bukan hanya mementingkan satu aspek dari ajaran Islam lalu mengabaikan aspek yg lainnya. Oleh krn itu pemahaman kita terhadap ajaran Islam secara syamil dan kamil menjadi satu keharusan. Disinilah letak pentingnya kita memahami karakteristik atau ciri-ciri khas ajaran Islam dgn baik.
a. Dalam Bidang Agama
Menurut Nurcholis Madjid (1991), bahwa dalam bidang agama Islam mengakui adanya pluralisme. Pluralisme menurutnya adalah aturan Tuhan (Sunnah Allah) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.
Sedangkan pengertian pluralisme dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan “al-ta’ddudiyah” dan dalam bahsa Inggris “religius pluralism”. Dalam bahasa Belanda, merupakan gabungan dari kata plural dan isme. Kata “plural” diartikan dengan menunjukkan lebih dari satu. Sedangkan isme diartikan dengan sesuatu yang berhubungan dengan paham atau aliran. Dalam bahasa Inggris disebut pluralism yang berasal dari kata “plural” yang berarti lebih dari satu atau banyak. Dalam Kamus The Contemporary Engglish-Indonesia Dictionary, kata “plural” diartikan dengan lebih dari satu/jamak dan berkenaan dengan keaneka ragaman. Jadi pluralisme, adalah paham atau sikap terhadap keadaan majemuk, baik dalam konteks sosial, budaya, politik, maupun agama.
Karakteristik agama Islam dalam visi keagamaannya bersifat toleran, pemaaf, tidak memaksakan dan saling menghargai karena dalam pluralitas agama tersebut terdapat unsur kesamaan yaitu pengabdian pada Tuhan.
b. Dalam Bidang Ibadah
Secara harfiah ibadah berarti bakti manusia kepada Allah Swt, karena didorong dan dibangkitkan oleh akidah tauhid.
Visi Islam tentang ibadah merupakan sifat, jiwa, dan misi ajaran Islam itu sendiri yang sejalan dengan tugas penciptaan manusia, sebagai makhluk yang hanya diperintahkan agar beribadah kepada-Nya.
c. Bidang Akidah
Dalam Kitab Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengartikan akidah menurut bahasa adalah menghubungkan dua sudut sehingga bertemu dan bersambung secara kokoh. Ikatan tersebut berbeda dengan terjemahan kata ribath yang artinya juga ikatan tetapi ikatan yang mudah dibuka, karena akan mengandung unsur yang membahayakan.
Ajaran Islam sebagaimana dikemukakan Maulana Muhammad Ali (2000), dibagi kepada dua bagian, yaitu bagian teori atau yang lazim disebut rukun iman, dan bagian praktek yang mencakup segala yang harus dikerjakan oleh orang Islam, yakni amalan-malan yang harus dijadikan pedoman hidup. Bagian pertama disebut ushul (pokok) dan bagian kedua furu’. Kata ushul adalah jamak dari ashl artinya pokok atau asas; adapun kata furu’ artinya cabang. Bagian pertama disebut aqa’id artinya kepercayaan yang kokoh, adapun bagian kedua disebut ahkam.
Karakteristik Islam yang dapat diketahui melalui akidah ini adalah bahwa akidah Islam bersifat murni baik dalam isinya maupun prosesnya. Akidah Islam diyakini dan diakui sebagai Tuhan yang wajib disembah hanya Allah. Keyakinan tersebut sedikitpun tidak boleh diberikan kepada yang lain, karena akan berakibat musyrik yang berdampak pada motivasi kerja yang tidak sepenuhnya didasarkan atas panggilan Allah. Dalam prosesnya keyakinan tersebut harus langsung, tidak boleh melalui perantara. Akidah demikian itulah yang akan melahirkan bentuk pengabdian hanya kepada Allah, yang selanjutnya berjiwa bebas, merdeka dan tidak tunduk pada manusia dan lainnya yang menggantikan posisi Tuhan.
Akidah dalam Islam meliputi keyakinan dalam hati tentang Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah; ucapan dengan lisan dalam bentuk dua kalimat syahadat yaitu menyatakan tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya; perbuatan dengan amal saleh. Akidah demikian itu mengandung arti bahwa dari orang yang beriman tidak ada rasa dalam hati, atau ucapan dan perbuatan melainkan secara keseluruhan menggambarkan iman kepada Allah, yakni tidak ada niat, ucapan, dan perbuatan yang dikemukakan orang yang beriman itu kecuali yang sejalan dengan kehendak Allah.
d. Bidang Ilmu dan Kebudayaan
Karakteristik ajaran Islam dan bidang ilmu dan kebudayaan bersikap terbuka, akomodatif, tetapi juga selektif. Yakni dari satu segi Islam terbuka dan akomodatif untuk menerima berbagai masukan dari luar, tetapi bersamaan dengan itu Islam juga selektif, yakni tidak begitu saja menerima seluruh jenis ilmu dan kebudayaan, melainkan ilmu dan kebudayaan yang sejalan dengan Islam. Dalam bidang ilmu dan teknologi, Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk bersikap terbuka atau tidak tertutup. Sekalipun kita yakin bahwa Islam itu bukan Timur dan bukan Barat, itu tidak berarti kita harus menutup diri dari keduanya. Bagaimanapun, Islam adalah sebuah paradigma terbuka. Ia merupakan mata rantai peradaban dunia. Dalam sejarah kita melihat Islam mewarisi peradaban Yunani-Romawi di Barat, dan peradaban-peradaban Persia, India, dan Cina di Timur. Selama abad VII sampai abad XV, ketika peradaban di besar di Barat dan di Timur itu tenggelam dan mengalami kemorosotan, Islam bertindak sebagai pewaris, utamanya untuk kemudian diambil alih oleh peradaban Barat sekarang melalui Renaissans. Jadi dalam bidang ilmu dan kebudayaan Islam menjadi mata rantai yang penting dalam sejarah peradaban dunia. Dalam kurun waktu selama delapan abad itu, Islam bahkan mengembangkan warisan-warisan ilmu pengetahuan dan teknologi dari peradaban-peradaban tersebut.
Banyak contoh dapat dijadikan bukti tentang peranan islam sebagai mata rantai peradaban dunia. Islam misalnya mengembangkan matematika India, ilmu kedokteran dari Cina, sistem pemerintahan dari Persia, logika Yunan dan sebagainya. Tentu saja dalam proses peminjaman dan pengembangan itu terjadi dialektika internal. Jadi misalnya untuk pengkajian tertentu Islam menolak logika Yunani yang sangat rasional untuk digantikan dengan cara berpikir intuitif yang lebih menekankan rasa seperti yang dikenal dalam tasawuf. Dan dengan proses ini pula Islam tidak sekedar mewariskan tetapi juga melakukan enrichment dalam substansi dan bentuknya. Melalui inilah Islam akhirnya mampu menymbangkan warisan-warisannya sendiri yang itentik. Melalui karya S.I. Poeradisastra berjudul Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, kita dapat memperoleh informasi yang agak lengkap mengenai peranan yang dimainkan Islam dalam membangun ilmu pengetahuan dan peradaban modern, baik berkenaan dengan ilmu alam, teknik dan arsitektur, maupun ilmu pengetahuan sosial, filsafat, sastra, kedokteran, matematika, fisika, dan lain sebagainya.
e. Bidang Pendidikan
Sejalan dengan bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan tersebut di atas, Islam juga memiliki ajaran yang khas dalam bidang pendidikan. Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap orang (education for all), laki-laki atau perempuan; dan berlangsung sepanjang hayat (long life education). Dalam bidang pendidikan Islam memiliki rumusan yang jelas dalam bidang tujuan, kurikulum, guru, metode, sarana, dan lain sebagainya. Semua aspek yang berkaitan dengan pendidikan ini dapat dipahami dari kandungan surat al-Alaq sebagaimana disebutkan di atas. Di dalam al-Qur’an dapat dijumpai berbagai metode pendidikan, seperti metode ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi, penugasan, teladan, pembiasaan, karya wisata, cerita, hukuman, nasihat, dan sebagainya. Berbagai metode tersebut dapat digunakan sesuai dengan materi yang diajarkan, dan dimaksudkan demikian agar pendidikan tidak membosankan anak didik.
f. Bidang Sosial
Selanjutnya karakteristik ajaran Islam dapat dilihat dari ajarannya di bidang sosial. Ajaran Islam di bidang sosial ini termasuk yang paling menonjol karena seluruh bidang ajaran Islam sebagaimana telah disebutkan di atas pada akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan manusia. Namun khusus dalam bidang sosial ini Islam menjunjung tinggi tolong-menolong, saling menasihati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan, egaliter (kesamaan Derajat), tenggang rasa dan kebersamaan. Ukuran ketinggian derajat manusia dalam pandangan Islam bukan ditentukan oleh nenek moyangnya, kebangsaannya, warna kulit, bahasa, kelamin dan sebagainya yang berbau rasialis. Kualitas dan ketinggian derajat seseorang ditentukan oleh ketakwaannya yang ditunjukkan oleh prestasi kerjanya yang bermanfaat bagi manusia. Atas dasar ukuran ini, maka dalam Islam semua orang memiliki kesempatan yang sama. Mobilitas vertikal dalam arti yang sesungguhnya ada dalam Islam, sementara sistem kelas yang menghambat mobilitas sosial tersebut tidak diakui keberadaannya. Seseorang yang berprestasi sungguhpun berasal dari kalangan bawah, tetap dihargai dan dapat meningkat kedudukannya serta mendapat hak-hak sesuai dengan prestasi yang dicapainya.
g. Dalam Bidang Kehidupan Ekonomi
Karakteristik ajaran Islam selanjutnya dapat dipahami dari konsepsinya dalam bidang kehidupan. Islam memandang bahwa kehidupan yang harus dilakukan manusia adalah hidup yang seimbang dan tidak terpisahkan urusan dunia dan akhirat. Urusan dunia dikejar dalam rangka mengejar kehidupan akhirat, dan kehidupan akhirat dicapai dengan dunia. Kita membaca hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak yang artinya: Bukanlah termasuk orang baik di antara kamu adalah orang yang meninggalkan dunia karena mengejar kehidupan akhirat, dan kehidupan akhirat karena mengejar kehidupan dunia. Orang yang baik adalah orang yang meraih keduanya secara seimbang, karena dunia adalah alat menuju akhirat, dan jangan dibalik yakni akhirat dikorbankan untuk urusan dunia.
h. Dalam Bidang Kesehatan
Ajaran Islam tentang kesehatan berpedoman pada prinsip pencegahan lebih diutamakan daripada penyembuhan. Dalam bahasa Arab, prinsip ini berbunyi: al-wiqayah khair min al-’ilaj. Berkenaan dengan konteks kesehatan ini ditemukan sekian banyak petunjuk kitab suci dan sunnah Nabi saw yang pada dasarnya mengarah pada upaya pencegahan.
Untuk menuju pada upaya pencegahan tersebut, maka Islam menekankan segi kebersihan lahir dan batin. Kebersihan lahir dapat mengambil bentuk kebersihan tempat tinggal, lingkungan sekitar, badan, pakaiian, makanan, minuman dan lain sebagainya.
i. Dalam Bidang Politik
Ciri ajaran Islam selanjutnya dapat diketahui melalui konsepsinya dalam bidang politik. Dalam al-qur’an surah an-Nisa ayat 156 terdapat perintah mentaati ulil amri yang terjemahnya termasuk penguasa di bidang politik, pemerintahan dan negara. Dalam hal ini Islam tidak mengajarkan ketaatan buta terhadap pemimpin. Islam menghendaki suatu ketaatan kritis, yaitu ketaatan yang didasarkan pada tolok ukur kebenaran dari Tuhan. Jika pemimpin tersebut berpegang pada tuntunan Allah dan Rasul-nya maka wajib ditaati. Sebaliknya jikabermanfaat bagi orang lain. pemimpin tersebut bertentangan dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya, maka boleh dikritik atau diberi saran agar kembali ke jalan yang benar dengan cara-cara yang persuasif. Dan jika cara tersebut juga tidak dihiraukan oleh pemimpin tersebut, maka boleh saja untuk tidak dipatuhi.
j. Dalam Bidang Pekerjaan
Karakteristik ajaran Islam lebih lanjut dapat dilihat dari ajarannya mengenai kerja . Islam memandang bahwa kerja sebagai ibadah kepada Allah Swt. Atas dasar ini maka kerja yang dikehendaki Islam adalah kerja yang bermutu, terarah pada pengabdian terhadap Allah Swt, dan kerja yang bermanfaat bagi orang lain.
k. Islam Sebagai Disiplin Ilmu
Selain sebagai ajaran yang berkenaan dengan berbagai bidang kehidupan dengan ciri-cirinya yang khas tersebut, Islam juga telah tampil sebagai sebuah disiplin ilmu yaitu ilmu keislaman. Menurut peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Tahun 1985, bahwa yang termasuk disiplin ilmu keislaman adalah Alquran/Tafsir, Hadis/Ilmu Hadis, Ilmu Kalam, Filsafat, Tasawuf, Hukum Islam (Fiqih), Sejarah dan Kebudayaan Islam serat Pendidikan Islam.
Jauh sebelum itu, Harun Nasution(1995) mengatakan bahwa Islam berlainan dengan apa yang umum diketahui, Islam sebenarnya mempunyai aspek teologi, aspek ibadah, aspek moral, aspek mistisisme, aspek filsafat, aspek sejarah, aspek kebudayaan dan sebagainya. Inilah yang selanjutnya membawa kepada timbulnya berbagai jurusan dan fakultas di Istitut Agama Islam Negeri (IAIN) yang tersebar di Indonesia, serta berbagai Perguruan Tinggi Islam swasta lainnya di tanah air.

5. Islam dan Sasaran Pendekatan Studi Agama
Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Terakhir tidak berdiri sendiri tapi dia datang untuk melengkapi agama lainnya yang sudah muncul sebelumnya sehingga ia memiliki berbagai sasaran dalam pendekatan studi agama, diantaranya:
a. Islam Sebagai Sasaran Studi Doktrinal
Kata doktrin berasal dari bahasa Inggris dootrine yang berarti ajaran. Dari kata dootrine itu kemudian dibentuk kata doctrinal yang berarti yang dikenal dengan ajaran atau bersifat ajaran. Sedangkan studi doctrinal berarti studi yang berkenaan dengan ajaran atau studi tentang sesuatu yang bersifat teoritis dalam arti tidak praktis. Uraian ini berkenaan dengan Islam sebagai sasaran atau obyek studi doctrinal tersebut. Ini berarti dalam studi doctrinal kali yang dimaksud adalah studi tentang ajaran Islam atau studi Islam dari sisi teori-teori yang dikemukakan oleh Islam.
Islam didefinisikan oleh sebagian ulama adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Berdasarkan pada definisi Islam, maka inti dari Islam adalah wahyu. Sedangkan wahyu yang dimaksud adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dari kedua sumber itulah ajaran Islam diambil. Namun meski kita mempunyai sumber, ternyata dalam realitasnya ajaran Islam yang digali dari dua sumber tersebut memerluka keterlibatan ulama dalam memahami dua sumber ajaran tersebut. Keterlibatan tersebut dalam bentuk Ijtihad.
Dengan Ijtihad maka ajaran berkembang. Karena ajaran Islam yang ada di dalam dua sumber tersebut ada yang tidak terperinci, banyak yang diajarkan secara garis besar atau global. Masalah-masalah yang berkembang kemudian yang tidak secara terang disebut di dalam dua sumber itu didapatkan dengan cara Ijtihad. Studi Islam dari sisi doctrinal itu kemudian menjadi sangat luas, yaitu tentang ajaran Islam baik yang ada di dalam Al-Qur’an maupun yang ada di dalam Al-Sunnah serta apa yang menjadi penjelasan kedua sumber tersebut dengan melalui Ijtihad.
b. Islam Sebagai Sasaran Studi Sosial
Islam sebagai sasaran studi social ini dimaksudkan sebagai studi tentang Islam sebagai gejala social. Hal ini menyangkut keadaan masyarakat penganut agama lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala social lainnya yang saling berkaitan. Dengan demikian yang menjadi obyek dalam kaitan dengan Islam sebagai sasaran studi social adalah Islam yang telah menggejala atau yang sudah menjadi fenomena Islam.
Menurut M. Atho Mudzhar agama sebagai gejala social pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Sosiologi agama mempelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat mempengaruhi agama, dan agama mempengaruhi masyarakat. Jika Islam dijadikan sebagai sasaran studi social, maka harus mengikuti paradigma positivisme yaitu dapat diambil gejalanya, dapat diukur, dan dapat diverifikasi.
3. Islam Sebagai Sasaran Studi Budaya
Untuk memahami suatu agama, khususnya Islam memang harus melalui dua model yaitu tekstual dan konstekstual. Tektual artinya memahami Islam melalui wahyu yang berupa kitab suci. Sedangkan konstekstual berarti memahami Islam lewat realitas social yang berupa perilaku masyarakat yang memerlukan agama bersangkutan.
Studi budaya diselenggarakan dengan penggunaan cara-cara penelitian yang diatur oleh aturan-aturan kebudayaan yang bersangkutan. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk social yang isinya adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan mengiterprestasi lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.

B. Studi Agama
Setiap insan manusia tentu saja memiliki kepercayaan (agama) masing-masing dalam kehidupannya untuk menentukan arah tujuannya dan memahami arti kehidupan yang seharusnya dilakukan. Kita ketahui bahwa agama di dunia ini banyak dan memiliki ajaran yang khas tapi pada intinya sama yaitu menemukan jati diri sebenarnya dan mengenal Tuhan sebagai penciptanya. Sangatlah penting untuk mempelajari studi agama dikalangan Mahasiswa.
1. Pengertian Agama
Secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta, yang berasal dari akar kata gam artinya pergi. Kemudian akar kata gam tersebut mendapat awalan a dan akhiran a, maka terbentuklah kata agama artinya jalan. Maksudnya, jalan untuk mencapai kebahagiaan.
Di samping itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang akar katanya adalah a dan gama. A artinya tidak dan gama artinya kacau. Jadi, agama artinya tidak kacau atau teratur. Maksudnya, agama adalah peraturan yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan yang dihadapi dalam hidupnya, bahkan menjelang matinya.
Sedangkan secara terminologi, agama dan religi ialah suatu tata kepercayaan atas adanya yang Agung di luar manusia, dan suatu tata penyembahan kepada yang Agung tersebut, serta suatu tata kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan yang Agung, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam yang lain, sesuai dengan tata kepercayaan dan tata penyembahan tersebut.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada agama dan religi terdapat empat unsur penting, yaitu:
a) Tata pengakuan atau kepercayaan terhadap adanya Yang Agung,
b) Tata hubungan atau tata penyembahan terhadap yang Agung itu dalam bentuk ritus, kultus dan pemujaan,
c) Tata kaidah/doktrin, sehingga muncul balasan berupa kebahagiaan bagi yang berbuat baik/jujur, dan kesengsaraan bagi yang berbuat buruk/jahat,
d) Tata sikap terhadap dunia, yang menghadapi dunia ini kadang-kadang sangat terpengaruh (involved) sebagaimana golongan materialisme atau menyingkir/ menjauhi/uzlah (isolated) dari dunia, sebagaimana golongan spiritualisme.

2. Latar Belakang Perlunya Manusia Terhadap Agama
Ada tiga alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Keempat alasan tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Latar Belakang Fitrah Manusia
Dalam bukunya yang berjudul Perspektif Manusia dan Agama, Murthada Muthahhari mengatakan, bahwa di saat berbicara tentang para nabi, Imam Ali as. menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang telah diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya. Perjanjian itu tidak tercatat di atas kertas, tidak pula diucapkan oleh lidah, melainkan terukir dengan pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia, dan di atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniah.



Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetapkanlah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah itu (QS. Al-Rum, 30:30).


b. Kelemahan dan Kekurangan Manusia
Faktor lainnya yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena di samping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan. misalnya ayat yang berbunyi :
ﻭﻧﻔﺲﻭﻣﺎﺳﻮﻫﺎ٧ﻓﺎﻟﻬﻤﻬﺎﻓﺠﻮﺭﻫﺎﻭﺗﻘﻮﻫﺎ(ﺍﻟﺜﻤﺲ)
Demi nafs serta penyempurnaa ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakutan. (QS. Al-Syams) 91 : 7 – 8).

c. Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan (Lihat QS. 12:5; 17:53). Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan.

3. Unsur-unsur dalam agama
salah satu cara pemilahan terhadap jenis-jenis metodologi studi agama dapat dilakukan dengan menguraikan unsur apa saja yang terdapat dalam agama. Kalangan akademik memetakan unsur-unsur dalam agama dengan istilah 4 C:
a. Canon adalah unsur agama yang berwujud kumpulan ajaran atau doktrin yang menjadi pegangan oleh setiap pemeluk agama dalam sebuah kitab suci, misalnya al-Qur’an, Injil, Zabur, dll.
b. Cault merupakan unsur agama yang berupa imam, nabi, pemimpin atau tokoh yang menjadi panutan bagi suatu komunitas agama.
c.Community merujuk pada kumpulan, masyarakat atau organisasi yang menjadi wadah bagi para penganut agama tertentu.
d. Culture yang terjemahannya adalah budaya merujuk pada sisi ekspresi keberagamaan seseorang atau suatu masyarakat.
Berdasarkan pemetaan di atas, maka studi agama dari sisi metodologisnya dapat dibedakan menjadi: filosofis, sosiologis, antropologis dan budaya.
Pembagian lebih sederhana dilakukan oleh Prof. Dr. H.M. Atho’ Mudzhar(1998) yang meringkas studi agama hanya menjadi dua jenis, yaitu
a. Penelitian agama sebagai fenomena sosial (kajian sosiologi agama), dan
b. Agama sebagai fenomena budaya (kajian budaya agama).
Dua jenis kajian agama menurut Atho’ tersebut didasarkan pada perbedaan mendasar aspek agama. Jika agama dilihat dari aspeknya yang unik, seperti simbol-simbol keagamaan, peninggalan bangunan-bangunan agama dan sebagainya, maka dikategorikan sebagai kajian budaya agama. Sedangkan jika kajian ditujukan pada sisi agama yang bersifat dinamis, berulang, dan berkesinambungan, seperti perilaku masyarakat dan sebagainya, disebut sebagai kajian sosial agama.

4. Fungsi Agama
Agama tentu saja memiliki fungsi, diantaranya:
a. Sumber moral
b. Petunjuk kebenaran
c. Sumber informasi tentang masalah metafisika.
d. Memberikan bimbingan rohani bagi manusia baik di kala suka, maupun di kala duka.
e. Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.
f. Menjawab berbagai persoalan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
g. Memberi rasa kekuaaan kepada sesuatu kelompok manusia.
h. Memainkan fungsi kawanan sosial.

5. Berbagai Pendekatan dalam Memahami Agama
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekadar disampikan dalam kotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional konseptual, dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Dalam memahami agama banyak pendekatan yang dilakukan. Hal demikian perlu dilakukan, karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya.
Berbagai pendekatan tersebut meliputi pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan dan pendekatan filosofis. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma.
Untuk lebih jelasnya berbagai pendekatan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normative dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.
Dalam memahami agama, Abuddin Nata (1999: 27-28) menjelaskan bahwa pendekatan teologis normativ lebih menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap suatu yang benar dibandingkan dengan yang lainnya. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan (eksklusifisme).
Berkenaan dengan pendekatan teologi tersebut, Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas. Saat sekarang ini terlebih-lebih lagi kenyataan demikian haru ditambahkan bahwa doktrin teologi, pada dasarnya memang tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan social kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Bercampur aduknya doktrin teologi dengan historisitas institusi social kemasyarakatan yang menyertai dan mendukungnya menambah peliknya persoalan yang dihadapi ummat beragama. Tapi, justru keterlibatan institusi dan pranata social kemasyarakatan dalam wilayah keberagamaan manusia itulah yang kemudian menjadi bahan subur bagi peneliti agama. Dari situ, kemudian muncul terobosan baru untuk melihat pemikiran teologi yang termanifestasikan dalam “budaya” tertentu secara lebih obyektif lewat pengamatan empirik factual, serta factual, serta pranata-pranata social kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya.
Pendekatan teologis ini selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan normative, yaitu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan nampak bersikap ideal.
b. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Soerjono Soekamto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian.
sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dan ilmu sosiologi.
c. Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu dan hikmah. Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha manutkan sebab dan akibat serta berusaha manafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam Kamus Umum Bahsa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti ”adanya” sesuatu. Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah berpikir secara mendalam, sitemik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah.
d. Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
e. Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut.
Kajian dengan objek peristiwa yang terjadi di masa yang lalu karena sejarah sebagai pisau analisis dalam mengkaji Islam, bukan sebagai objek kajian. Model kajian ini dapat melahirkan macam-macam kajian sejarah. Karena sejarah ini keterkaitannya dalam konteks gagasan, ide, dan pemikiran.
f. Pendekatan Kebudayaan
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat; dan berarti pula kegiatan (usaha) batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan sesuatu yang termasuk hasil kebudayaan. Sementara itu, Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan segala kacakapan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengarahkan segenap potensi batin yang dimilikinya.
g. Pendekatan Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah jiwa yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Ilmu jiwa agama sebagaimana yang dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
Share/Bookmark

0 komentar:

Lee Jong Seok

Lee Jong Seok
Saranghae Emesayap.....^_^

Total Tayangan Halaman